Jumat, 14 Oktober 2016

Mau Kejar Pajak Google, Sri Mulyani Harus Belajar Dari Ratu Elizabeth

PERAWANGPOS -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diminta untuk belajar banyak dari kesuksesan negara Ratu Elizabeth II, Inggris dalam memaksa Google membayar pajak di negara tersebut. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah masih kebingungan menerapkan cara yang tepat untuk memaksa Google membayar pajak.

Managing Partner dari firma konsultan pajak Danny Darussalam Tax Center, Darussalam menerangkan, Inggris menyerang Google dari dua tekanan, yaitu reputasi dan pemberlakuan jenis pajak baru.

Dari sisi reputasi, Inggris mencitrakan Google sebagai perusahaan yang tak bermoral dan berupaya untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avoidance) melalui ucapan anggota parlemen Inggris. Ucapan tersebut, lanjut Darussalam, kemudian dimuat dalam media massa dan membuat publik mempertanyakan siasat Google.

"Ada omongan dari anggota parlemen Inggris yang menyebut bahwa kantor perwakilan Google di Inggris bukanlah perusahaan ilegal, melainkan perusahaan tak bermoral. Karena bisa jadi mereka membayar pajak lebih kecil, padahal memiliki penghasilan yang lebih tinggi," ujar Darussalam di Malang, Jumat (14/10)

Bak gayung bersambut, lontaran anggota lembaga legislatif tersebut mendapat perhatian serius dari pemerintah Inggris dengan menerbitkan peraturan perpajakan baru. Negara tersebut kemudian mengetok tarif pajak yang lebih tinggi bagi Google dan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/OTT) lainnya yang enggan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di dalam negeri.

Pajak yang disebut diverted profit tax ini, lanjutnya, merupakan jenis pajak baru dan bukan PPh badan. Sehingga, pengenaan ini tidak menyalahi ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Darussalam menjelaskan, pajak ini hanya dikenakan jika perusahaan OTT kedapatan membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80 persen dari tarif PPh badan Inggris.

Sebagai contoh, dengan tarif PPh badan Inggris sebesar 20 persen, perusahaan OTT yang ketahuan mendirikan BUT di negara yang memiliki tarif PPh di bawah 16 persen, akan dikenakan diverted profit tax sebesar 25 persen.

"Dan itu pun akhirnya memaksa Google untuk mendirikan BUT di Inggris karena Google tidak bisa berlindung di balik tiraitax treaty pajak berganda. Saya rasa, berkaca dari pengalaman ini, Indonesia bisa menerapkannya," jelasnya.

Darussalam berpendapat langkah ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Apalagi secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT.

Apabila BUT sudah terbentuk, maka perusahaan OTT seperti Google bisa dikenakan pajak karena sudah berbentuk Wajib Pajak (WP).

"Namun di sisi lain, Indonesia juga perlu merevisi kembali definisi BUT. Karena BUT tidak hanya sekadar memiliki bentuk fisik semata. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu meninjau kembali tax treatyagar pengenaan pajak baru juga bisa efektif," terang Darussalam.

Sebagai informasi, Google sebelumnya menolak untuk ditetapkan sebagai BUT karena aktivitas perjanjian kontrak dan pembayaran dilakukan secara daring (online), langsung ke GAP yang menjadi otoritas pajak Singapura.

Sehingga, transaksi tidak dilakukan melalui kantor perwakilan, PT Google Indonesia, yang sudah membayar pajak berdasarkan margin pembayaran jasa (fee) yang diterima dari GAP. 

Pemerintah sendiri menaksir kewajiban pajak Google yang bisa mencapai Rp450 miliar per tahun dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh di kisaran Rp1,6 triliun hingga Rp1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas penghasilan sekitar Rp5 triliun per tahun.

Sri Mulyani Indrawati sendiri menegaskan akan tetap meminta Direktorat Jenderal Pajak melanjutkan pemeriksaan pajak Google. 

"Ditjen Pajak akan menggunakan pasal yang ada, kan kita punya wadah untuk mendiskusikan hal itu. Kalau sepakat atau tidak sepakat, ada peradilan pajak," tutur Sri Mulyani bulan lalu.

Sumber : CNN


EmoticonEmoticon